Dulu ia dikenal jago ngebut. Uang taruhan yang didapat cukup menggiurkan. Tak jarang mencapai 10 juta rupiah. Cukup modal nyali, motor dan kelengkapannya sudah disiapkan orang lain. Resiko jatuh atau diburu polisi itu biasa baginya, maklum balapan liar.
Awan, panggil saja begitu. Berulang kali ia ditegur orang taunya hingga dikunci dikamar agar tak ikut balapan liar. Ia selalu bisa keluar dengan mencongkel pintu dan jendela, bahkan eternity rumah.
Sebenarnya tidak hanya balapan liar yang dinikmantinya tiap malam Minggu. Di arena itu ia bisa pula bertransaksi barnag haram dari minuman keras hingga narkoba. Biasanya ia mengkonsumsi benda laknat itu sebelum bertanding. Di arena itu pula Awan yang saat itu baru duduk di kelas satu SMU mengenal seks bebas. Ia dengan enak mempermainkan gadis-gadis kemudian meninggalkannya begitu saja.
Lai Awan, lain pula Tegar, adiknya. Tegar pendiam dan sikapnya dewasa. Ia selalu menasihati Awan. Tak jarang Tegar harus menyusul Awan di arena balap agar tak ikut balapan, sebab orangtua mereka khawatir terjadi apa-apa. Bukan rasa terima kasih yang Teagr dapat, justru makian bahkan tamparan.
Tak jarang pula, bila tak ada orang yang jadi “sponsornya”, Awan meminjam motor teman dengan menyewa atau membayar dengan barang haram. Bila ada kerusakan, Awan harus mengganti rugi. Minta orangtua jelas tidak mungkin, ia akan dimarahi habis-habisan. Selama ini orangtua Awan yang selalu membayar ganti rugi atas kelakuan Awan. Namun, mereka memilih lepas tangan karena Awan tak kunjung sadar.
Pada akhirnya, Awan berusaha dengan caranya sendiri untuk bisa memperoleh uang atau membeli barang haram. Awan mulai suka mencuri dan menipu teman. Pernah ia hampur dikeroyok karena ketahuan mencuri, namun ia tak pernah merasa menyesal atau malu.
Hingga kejadian di akhir tahun 1993, mampu mengusik nuraninya yang lama mati. Seperti malam sebelumnya, sebagai pelajar, Awan bukannya sibuk belajar, malah asyik nongkrong. Azan maghrib tak membuatnya beranjak dari tongkrongan maksiat, meski Tegar juga telah memintanya pulang. Seperti biasa Tegar malah babak belur dihajarnya. Kadang Awan berpikir, terbuat dari apa hari adiknya hingga begitu sabar padanya. Tapi pikiran itu hanya sesaat, ia kembali sibuk dengan maksiat. Sementara Tegar berlalu ke masjid dengan hidung berdarah, diiringi elusan dada orang yang melihat.
Malam tahun baru, taruhan balapan liar digelar, kali ini lebih mriah. Awan tak ketinggalan. Jalan tepi kota yang semula sepi, mendadak ramai dengan sorokan dan kerasnya suasana mesin motor melaju. Menit berlalu, balapan liar, namun setelah dilihat ternyata si korban adalah Tegar dan seorang teman Tegar. Jatuh korban, balap liarpun bubar.
Dari cerita Tegar, malam itu ia menjemput teman untuk donor darah bersama. Ada tetangga Tegar yang mengalami pendarahan hebat. Tegar mengajak tetangga lain yang tak lain adalah teman Tegar untuk membantu, kebetulan golongan darah mereka sama. Saat kejadian itu mereka berdua hendak ke rumah sakit. Tak taunya dari arah berlawanan muncul kendaraan yang sedang ngebut, hingga terjadilah tabrakan maut.
Akibat kecelakaan itu, teman tegas meninggal dunia. Tegar mengalami patah kaki, gegar otak, dan lumpuh tangan kanan. Sementara Awan remuk tulang panggulnya, patah kaki dan juga tangan. Setengah tahun kemudian Awan sembuh total. Namun tidak pada Tegar, ia mengalami lumpuh tangan permanent. Nurani Awan merasa bersalah pada adiknya, Awan juga merasa dirinya sebagai pembunuh hingga ia menjadi pemurung. Tidurnya selalu dibayang-bayangi mimpi buruk. Dengan mengumpulkan keberanian, ia menemui Tegar dan orangtuanya untuk minta maaf. Diluar dugaannya, Tegar sama sekali tak marah. Justru ia menasihati Awan aar insaf dari kelakuan buruknya.
Alhamdulillah, benar saja Awan mulai berubah. Ia mulai rajin shalat ke masjid, mengaji lagi seperti masa kecilnya dulu. Ia juga meninggalkan semua maksiat yang pernah dilakukannya. Sampai hari ini saat ia ada rezeki dan kesempatan, Awan mendatangi kenalan dan teman yang pernah disakitinya dulu untuk meminta maaf dan memberi ganti rugi atas perbuatannya dulu, baik untuk barang yang dicuri atau saat menipu. Kini Awan telah menikah dan memiliki dua anak. Sementara meski lumpuh, Tegar telah mendapat pekerjaan yang cukup bergengsi di kota metropolitan. Sungguh, meski kembalinya nurani harus ditebus mahal, tegar tak pernah menyesalinya. Tegar percaya Allah menciptakan hikmah atas semuanya. (Ummu Maryam Abdillah).
Awan, panggil saja begitu. Berulang kali ia ditegur orang taunya hingga dikunci dikamar agar tak ikut balapan liar. Ia selalu bisa keluar dengan mencongkel pintu dan jendela, bahkan eternity rumah.
Sebenarnya tidak hanya balapan liar yang dinikmantinya tiap malam Minggu. Di arena itu ia bisa pula bertransaksi barnag haram dari minuman keras hingga narkoba. Biasanya ia mengkonsumsi benda laknat itu sebelum bertanding. Di arena itu pula Awan yang saat itu baru duduk di kelas satu SMU mengenal seks bebas. Ia dengan enak mempermainkan gadis-gadis kemudian meninggalkannya begitu saja.
Lai Awan, lain pula Tegar, adiknya. Tegar pendiam dan sikapnya dewasa. Ia selalu menasihati Awan. Tak jarang Tegar harus menyusul Awan di arena balap agar tak ikut balapan, sebab orangtua mereka khawatir terjadi apa-apa. Bukan rasa terima kasih yang Teagr dapat, justru makian bahkan tamparan.
Tak jarang pula, bila tak ada orang yang jadi “sponsornya”, Awan meminjam motor teman dengan menyewa atau membayar dengan barang haram. Bila ada kerusakan, Awan harus mengganti rugi. Minta orangtua jelas tidak mungkin, ia akan dimarahi habis-habisan. Selama ini orangtua Awan yang selalu membayar ganti rugi atas kelakuan Awan. Namun, mereka memilih lepas tangan karena Awan tak kunjung sadar.
Pada akhirnya, Awan berusaha dengan caranya sendiri untuk bisa memperoleh uang atau membeli barang haram. Awan mulai suka mencuri dan menipu teman. Pernah ia hampur dikeroyok karena ketahuan mencuri, namun ia tak pernah merasa menyesal atau malu.
Hingga kejadian di akhir tahun 1993, mampu mengusik nuraninya yang lama mati. Seperti malam sebelumnya, sebagai pelajar, Awan bukannya sibuk belajar, malah asyik nongkrong. Azan maghrib tak membuatnya beranjak dari tongkrongan maksiat, meski Tegar juga telah memintanya pulang. Seperti biasa Tegar malah babak belur dihajarnya. Kadang Awan berpikir, terbuat dari apa hari adiknya hingga begitu sabar padanya. Tapi pikiran itu hanya sesaat, ia kembali sibuk dengan maksiat. Sementara Tegar berlalu ke masjid dengan hidung berdarah, diiringi elusan dada orang yang melihat.
Malam tahun baru, taruhan balapan liar digelar, kali ini lebih mriah. Awan tak ketinggalan. Jalan tepi kota yang semula sepi, mendadak ramai dengan sorokan dan kerasnya suasana mesin motor melaju. Menit berlalu, balapan liar, namun setelah dilihat ternyata si korban adalah Tegar dan seorang teman Tegar. Jatuh korban, balap liarpun bubar.
Dari cerita Tegar, malam itu ia menjemput teman untuk donor darah bersama. Ada tetangga Tegar yang mengalami pendarahan hebat. Tegar mengajak tetangga lain yang tak lain adalah teman Tegar untuk membantu, kebetulan golongan darah mereka sama. Saat kejadian itu mereka berdua hendak ke rumah sakit. Tak taunya dari arah berlawanan muncul kendaraan yang sedang ngebut, hingga terjadilah tabrakan maut.
Akibat kecelakaan itu, teman tegas meninggal dunia. Tegar mengalami patah kaki, gegar otak, dan lumpuh tangan kanan. Sementara Awan remuk tulang panggulnya, patah kaki dan juga tangan. Setengah tahun kemudian Awan sembuh total. Namun tidak pada Tegar, ia mengalami lumpuh tangan permanent. Nurani Awan merasa bersalah pada adiknya, Awan juga merasa dirinya sebagai pembunuh hingga ia menjadi pemurung. Tidurnya selalu dibayang-bayangi mimpi buruk. Dengan mengumpulkan keberanian, ia menemui Tegar dan orangtuanya untuk minta maaf. Diluar dugaannya, Tegar sama sekali tak marah. Justru ia menasihati Awan aar insaf dari kelakuan buruknya.
Alhamdulillah, benar saja Awan mulai berubah. Ia mulai rajin shalat ke masjid, mengaji lagi seperti masa kecilnya dulu. Ia juga meninggalkan semua maksiat yang pernah dilakukannya. Sampai hari ini saat ia ada rezeki dan kesempatan, Awan mendatangi kenalan dan teman yang pernah disakitinya dulu untuk meminta maaf dan memberi ganti rugi atas perbuatannya dulu, baik untuk barang yang dicuri atau saat menipu. Kini Awan telah menikah dan memiliki dua anak. Sementara meski lumpuh, Tegar telah mendapat pekerjaan yang cukup bergengsi di kota metropolitan. Sungguh, meski kembalinya nurani harus ditebus mahal, tegar tak pernah menyesalinya. Tegar percaya Allah menciptakan hikmah atas semuanya. (Ummu Maryam Abdillah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar