Berapa banyak cinta terurai dalam kata setiap detiknya? Berapa banyak ungkapan cinta yang terucap? Berapa banyak juga cinta yang dirasakan? Berapa besar juga cinta itu ada? Namun kenapa masih banyak di antara kita yang bertanya. Apakah cinta itu?
Pesta pernikahan sebentar lagi akan segera digelar. Undangan pun sudah tersebar. Sepertinya sudah merupakan sebuah kepastian dan tidak mungkin lagi untuk mundur. Tetapi mengapa tiba-tiba saja muncul sebuah pertanyaan dalam benak, “Apakah benar dia adalah cinta sejati saya?”.
Seorang perempuan menangis. Tiga hari lagi pernikahan itu akan segera berlangsung. Bukan rasa bahagia yang menyelimutinya. Yang ada justru malah rasa sedih dan penyesalan.
“Kenapa, sih, saya baru menyadarinya?!”
“Apa benar saya mencintainya?!”
“Kenapa juga saya mau menerima lamarannya?!”
“Bagaimana kalau dia ternyata bukan jodoh saya?!”
“Apa mampu saya akan bertahan dengannya?!”
“Apa masih bisa saya membatalkannya?!”
“Bagaimana dengan rasa malu?!”
“Bagaimana juga dengan tanggung jawab?!”
“Bagaimana?! Bagaimanaaaaaaaaa???”
Takut menghadapi kenyataan, pernikahan pun berlangsung dengan sangat meriah. Tidak ada satu orang pun yang tahu bagaimana isi hati perempuan ini yang sebenarnya. Tertutup oleh semua keindahan dan warna-warni bunga yang tersebar di mana-mana. Terhalang semua mengucapkan selamat yang diiringi doa.
Satu minggu setelah ikatan dilangsungkan, perempuan ini tidak kuasa lagi menahan kesedihan dan kepedihan hatinya. Dia masuk ke dalam mobil dan mengendarainya kencang-kencang. Tidak tahu juga ke mana arah dan tujuan. Sampai kemudian terhenti di depan sebuah rumah. Rumah mantan pacarnya. Tempat tinggal seorang pria yang dulu pernah mengisi hari-harinya.
Tangisnya pun meledak dan menjadi-jadi. Segala rasa yang bercampur aduk tak karuan itu pun tumpah. Ingin sekali rasanya dia untuk turun dan masuk ke dalam rumah itu untuk meminta maaf dan untuk bisa berteriak serta membuat pengakuan. Namun tetap tidak bisa juga. Rasa takut dan ragu tetap saja merajai. “Dia pasti marah! Dia pasti marah! Dia pasti marah!“.
Singkat cerita. Perempuan ini mempertahankan pernikahannya selama lima tahun. Dia sudah merasa cukup lima tahun menderita. Mengorbankan segala rasa dan pikirannya. Juga ingin mengungkap segala kebohongan yang selama ini tersimpan. Perceraian pun tidak bisa dielakkan. Dia sendiri lagi.
Ini bukan cerita fiktif belaka. Ini adalah sebuah kenyataan. Saya tidak perlu, ya, bilang siapa orangnya?! Untuk apa juga?! Petik saja hikmah dari pengalaman perempuan ini.
Kisah pertemuan perempuan ini dengan pria tadi bukanlah dalam waktu yang singkat. Sudah lama mereka saling kenal dan bersahabat. Tetapi betul, mereka hanya pacaran sebentar. Tidak sampai dua belas bulan. Hari-hari mereka memang sepertinya terasa begitu indah. Sepertinya memang benar-benar cinta. Setiap hari selalu saja ada rindu. Baru kemudian disadari bahwa rindu itu ternyata hanyalah sebuah nafsu duniawi belaka. Rindu mereka hanya rindu untuk bersenang-senang di atas tempat tidur.
Tidak mudah memang untuk bisa mengetahui cinta yang sesungguhnya. Beruntunglah mereka yang memang segera bisa mendapatkannya dan juga merasakannya. Hanya sedikit yang bisa, Banyak sekali yang masih belum juga menemukan dan atau menyadarinya. Biarpun sudah menikah dan hidup bersama berpuluh-puluh tahun lamanya. Sudah memiliki banyak anak dan bahkan cucu.
Membedakan cinta dan nafsu diperlukan sebuah kejujuran. Tidak bisa dipungkiri di mana ada cinta ada pula nafsu yang mengiringi. Di mana ada nafsu di sana juga ada pembenaran atas nama cinta yang menyertai. Seberapa besarkah keberanian kita untuk mau jujur? Seberapa mampu kita mendengarkan suara hati? Tidak usahlah bicara untuk kepentingan orang lain ataupun bangsa dan negara sendiri. Kali ini cukup untuk diri sendiri.
Sering kita mendengar uraian tentang cinta. Cinta adalah saling memberi. Cinta adalah saling memiliki. Cinta itu murah hati dan tulus. Iya, kan?! Bagaimana kalau saya memberikan sedikit lagi uraian tentang cinta yang mendasari apa yang menjadi pemahaman saya selama ini tentang cinta? Boleh, ya?! Boleh, dong!!!
Plato pernah menjabarkan apa yang disebut dengan cinta dalam arti yang lebih luas namun sangat mendasar. Sebuah uraian yang di dalam dunia filsafat dikenal dengan sebutan “Platonic Love“, dalam dialognya yang diterbitkan dalam buku berjudul “Symposium“. Buah pikir dan pengolahan rasa atas kisah cinta antara Eros, anak dari Aphrodite (Dewi Cinta Yunani) dan Ares (Dewa Perang Yunani), dan Pysche, seorang perempuan yang sebegitu cantiknya sampai membuat iri hingga dikutuk oleh Aphorodite.
Eros dipuja sebagai perlambang cinta seorang pria yang juga merupakan bagian dari misteri cinta. Pysche selalu dipuja sebagai wanita cantik yang terus menerus mencari cintanya. Uniknya, kemudian lahirlah Voluptas, anak buah cinta keduanya, memiliki arti nama kesenangan atau keindahan dan juga bisa diartikan sebagai seks. Coba perhatikan, deh!!! Ketiga nama ini bagi saya, adalan simbol, yang bila disatukan, memiliki arti cinta adalah jiwa dan pemikiran yang menghasilkan keindahan, baik dalam bentuk seks ataupun dalam bentuk kesenangan dan keindahan lainnya.
Saya coba jelaskan dengan kata-kata saya sendiri dan menjadikannya ringkasan, ya. Panjang banget soalnya. Harus satu buku sendiri!!! Hehehe….
“Cinta mengarahkan sebuah perasaan untuk mendorong inspirasi, pemikiran, jiwa, dan arah serta tujuan hidup ke sesuatu yang sifatnya “spiritual”. Apresiasi dan penghargaan terhadap keindahan cinta yang menghasilkan juga keindahan cinta. Tidak lepas dari kemudian berakhir pada apa yang disebut sebagai “kesucian”. Benar-benar sangat suci, sakral, dan dipenuhi dengan aroma spiritual yang sangat mendalam, dahsyat, dan sangat luar biasa“.
Saya tidak berharap bahwa semua bisa mengerti tentang ini semua biarpun setiap hari kita bicara dan berpikir tentang cinta. Saya hanya ingin sekali agar kita semua mau menjadi manusia yang jujur. Memiliki keinginan dan keberanian untuk menjadi seseorang yang jujur. Itu saja.
Selamat berpikir dan semoga bermanfaat!!!
Copas : http://sosbud.kompasiana.com/
Pesta pernikahan sebentar lagi akan segera digelar. Undangan pun sudah tersebar. Sepertinya sudah merupakan sebuah kepastian dan tidak mungkin lagi untuk mundur. Tetapi mengapa tiba-tiba saja muncul sebuah pertanyaan dalam benak, “Apakah benar dia adalah cinta sejati saya?”.
Seorang perempuan menangis. Tiga hari lagi pernikahan itu akan segera berlangsung. Bukan rasa bahagia yang menyelimutinya. Yang ada justru malah rasa sedih dan penyesalan.
“Kenapa, sih, saya baru menyadarinya?!”
“Apa benar saya mencintainya?!”
“Kenapa juga saya mau menerima lamarannya?!”
“Bagaimana kalau dia ternyata bukan jodoh saya?!”
“Apa mampu saya akan bertahan dengannya?!”
“Apa masih bisa saya membatalkannya?!”
“Bagaimana dengan rasa malu?!”
“Bagaimana juga dengan tanggung jawab?!”
“Bagaimana?! Bagaimanaaaaaaaaa???”
Takut menghadapi kenyataan, pernikahan pun berlangsung dengan sangat meriah. Tidak ada satu orang pun yang tahu bagaimana isi hati perempuan ini yang sebenarnya. Tertutup oleh semua keindahan dan warna-warni bunga yang tersebar di mana-mana. Terhalang semua mengucapkan selamat yang diiringi doa.
Satu minggu setelah ikatan dilangsungkan, perempuan ini tidak kuasa lagi menahan kesedihan dan kepedihan hatinya. Dia masuk ke dalam mobil dan mengendarainya kencang-kencang. Tidak tahu juga ke mana arah dan tujuan. Sampai kemudian terhenti di depan sebuah rumah. Rumah mantan pacarnya. Tempat tinggal seorang pria yang dulu pernah mengisi hari-harinya.
Tangisnya pun meledak dan menjadi-jadi. Segala rasa yang bercampur aduk tak karuan itu pun tumpah. Ingin sekali rasanya dia untuk turun dan masuk ke dalam rumah itu untuk meminta maaf dan untuk bisa berteriak serta membuat pengakuan. Namun tetap tidak bisa juga. Rasa takut dan ragu tetap saja merajai. “Dia pasti marah! Dia pasti marah! Dia pasti marah!“.
Singkat cerita. Perempuan ini mempertahankan pernikahannya selama lima tahun. Dia sudah merasa cukup lima tahun menderita. Mengorbankan segala rasa dan pikirannya. Juga ingin mengungkap segala kebohongan yang selama ini tersimpan. Perceraian pun tidak bisa dielakkan. Dia sendiri lagi.
Ini bukan cerita fiktif belaka. Ini adalah sebuah kenyataan. Saya tidak perlu, ya, bilang siapa orangnya?! Untuk apa juga?! Petik saja hikmah dari pengalaman perempuan ini.
Kisah pertemuan perempuan ini dengan pria tadi bukanlah dalam waktu yang singkat. Sudah lama mereka saling kenal dan bersahabat. Tetapi betul, mereka hanya pacaran sebentar. Tidak sampai dua belas bulan. Hari-hari mereka memang sepertinya terasa begitu indah. Sepertinya memang benar-benar cinta. Setiap hari selalu saja ada rindu. Baru kemudian disadari bahwa rindu itu ternyata hanyalah sebuah nafsu duniawi belaka. Rindu mereka hanya rindu untuk bersenang-senang di atas tempat tidur.
Tidak mudah memang untuk bisa mengetahui cinta yang sesungguhnya. Beruntunglah mereka yang memang segera bisa mendapatkannya dan juga merasakannya. Hanya sedikit yang bisa, Banyak sekali yang masih belum juga menemukan dan atau menyadarinya. Biarpun sudah menikah dan hidup bersama berpuluh-puluh tahun lamanya. Sudah memiliki banyak anak dan bahkan cucu.
Membedakan cinta dan nafsu diperlukan sebuah kejujuran. Tidak bisa dipungkiri di mana ada cinta ada pula nafsu yang mengiringi. Di mana ada nafsu di sana juga ada pembenaran atas nama cinta yang menyertai. Seberapa besarkah keberanian kita untuk mau jujur? Seberapa mampu kita mendengarkan suara hati? Tidak usahlah bicara untuk kepentingan orang lain ataupun bangsa dan negara sendiri. Kali ini cukup untuk diri sendiri.
Sering kita mendengar uraian tentang cinta. Cinta adalah saling memberi. Cinta adalah saling memiliki. Cinta itu murah hati dan tulus. Iya, kan?! Bagaimana kalau saya memberikan sedikit lagi uraian tentang cinta yang mendasari apa yang menjadi pemahaman saya selama ini tentang cinta? Boleh, ya?! Boleh, dong!!!
Plato pernah menjabarkan apa yang disebut dengan cinta dalam arti yang lebih luas namun sangat mendasar. Sebuah uraian yang di dalam dunia filsafat dikenal dengan sebutan “Platonic Love“, dalam dialognya yang diterbitkan dalam buku berjudul “Symposium“. Buah pikir dan pengolahan rasa atas kisah cinta antara Eros, anak dari Aphrodite (Dewi Cinta Yunani) dan Ares (Dewa Perang Yunani), dan Pysche, seorang perempuan yang sebegitu cantiknya sampai membuat iri hingga dikutuk oleh Aphorodite.
Eros dipuja sebagai perlambang cinta seorang pria yang juga merupakan bagian dari misteri cinta. Pysche selalu dipuja sebagai wanita cantik yang terus menerus mencari cintanya. Uniknya, kemudian lahirlah Voluptas, anak buah cinta keduanya, memiliki arti nama kesenangan atau keindahan dan juga bisa diartikan sebagai seks. Coba perhatikan, deh!!! Ketiga nama ini bagi saya, adalan simbol, yang bila disatukan, memiliki arti cinta adalah jiwa dan pemikiran yang menghasilkan keindahan, baik dalam bentuk seks ataupun dalam bentuk kesenangan dan keindahan lainnya.
Saya coba jelaskan dengan kata-kata saya sendiri dan menjadikannya ringkasan, ya. Panjang banget soalnya. Harus satu buku sendiri!!! Hehehe….
“Cinta mengarahkan sebuah perasaan untuk mendorong inspirasi, pemikiran, jiwa, dan arah serta tujuan hidup ke sesuatu yang sifatnya “spiritual”. Apresiasi dan penghargaan terhadap keindahan cinta yang menghasilkan juga keindahan cinta. Tidak lepas dari kemudian berakhir pada apa yang disebut sebagai “kesucian”. Benar-benar sangat suci, sakral, dan dipenuhi dengan aroma spiritual yang sangat mendalam, dahsyat, dan sangat luar biasa“.
Saya tidak berharap bahwa semua bisa mengerti tentang ini semua biarpun setiap hari kita bicara dan berpikir tentang cinta. Saya hanya ingin sekali agar kita semua mau menjadi manusia yang jujur. Memiliki keinginan dan keberanian untuk menjadi seseorang yang jujur. Itu saja.
Selamat berpikir dan semoga bermanfaat!!!
Copas : http://sosbud.kompasiana.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar