Perceraian yang berubah nestapa
Banyak hikmah mengapa Allah menghukum “perceraian” dengan halal yang dibenci. Karenanya, piker berkali-kali kalau memasuki wilayah yang satu ini.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam sudah barang tentu menerangkan banyak hal dalam kehidupan yang kompleks ini. Di antaranya bentuk hukum yang secara aghlabiah (garis besar) disebutkan dalam al-Qur’an adalah masalah hukum haram dan halal. Al-Qur’an berbicara tentang kedua hal itu dalam berbagai bentuk dan konteks, secara jelas dan gambling.
Halal adalah suatu bentuk (hukum) yang telah mendapat legitimasi dari Allah SWT melalui sumber al-Qur’an, baik tersurat maupun tersirat. Atau yang dijabarkan utusan-nya (Rasulullah saw), baik dalam bentuk material maupun imaterial.
Halal kata Allah, tentu thoyyib (baik) buat kita. Halal kata manusia belum tentu halal menurut Allah AWT. Haram kata Dia, jelas ada mudharat (bahaya) buat kita. Karenanya, halal haram, merupakan ketentuan Ilahi yang mutlak, sebagaimana Rasulullah saw tegaskan, “Halal itu jelas dan haram itu juga jelas,” (HR. Bukhori, Muslim).
Kalau terkadang terdapat rukhsah (toleransi), itu pun menjadi hak prerogative Allah SWT. Artinya, bila ciptaan-Nya, manusia, mendapat syiddatul masyaqqah (kesulitan berat) yang menemui jalan buntu dalam memecahkan masalah, Allah SWT juga yang memberikan toleransi atau keringanan sebagai fleksibilitas ajaran-Nya. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang ia kerjakan,” (QS. al-Baqarah: 286).
Jika ada sesuatu yang diharamkan, itu dipastikan tidak thoyyib bagi manusia. Karena itu, sebenarnya dengan rambu-rambu tersebut, Allah menghendaki mansia agar dapat eksis, sesuai proporsinya, sebagai ahsani taqwi,, ciptaan-Nya yang terbaik.
Jika aturan “haram” dilanggar atau dibuat longgar, maka Allah SWT membenci pelakunya dan memberikan predikat pendosa. Bahkan, Dia akan mengembalikannya pada tempat paling hina. “Kemudian Kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya (neraka),” (QS. at-Tin)
Jika soal haram yang dilanggar, kemudian Allah SWT membencinya dan murka, itu adalah hal yang wajar karena memang jelas salahnya. Tetapi, hal halal yang kita perbuat dan Allah membencinya, tentu jarang kita dengar. Mengapa Allah SWT membenci perbuatan halal yang kita lakukan?
Pemutusan hubungan rumah tangga atau perceraian adalah suatu yang halal bagi Allah. Tapi, hal tersebut dibenci-Nya, seperti diterangkan Rasulullah saw, “Di antara barang-barang yang halal yang dibenci Allah, adalah talak,” (HR> Abu Daud, Ibnu Majah).
Perceraian yang hukum kehalalannya itu ditolelir oleh syariat sedikit menimbulkan pertanyaan bagi kita. Ada apa sebenarnya di balik kehalalan itu? Menyadari begitu besar hikmah yang terkandung, segera kita sadai bahwa kehalalan yang satu ini adalah jalan alternative yang seharusnya tidak disentuh dan dipilih oleh insane-insan rumah tangga jika mereka berselisih.
Selain itu, di balik ini semua, ada syariat kebaikan, betapa Allah sangat menghargai sebuah jalinan ikatan suci yang dengannya akan tercipta ketentraman (sakinah) keluarga. Dengan ketetapan hukum-Nya Allah Azza wa Jalla hendak mengetuk hati kita dan mengingatkan, bahwa begit besar dampa dari sebuah perceraian. Imbasnya tidak hanya tertuju pada keda penjalin cinta-kasih (suami dan istri), tetapi juga kepada anak-anak, keluarga, dan seluruh kerabat keduanya.
Kenyataan yang kerap terjadi, jika hubungan rumah tangga itu putus, dengan sendirinya pola hubungan silaturahmi juga tidak lagi terjalin. Kalaupun tetap terjalin, jarang sekali mereka saling bertemu. Sudah pasti akan terjadi kesenjangan. Keluarga dengan kerabat lainnya, mantan suami dengan mantan istrinya itu, masing-masing akan menampakkan ketertutupan dan keterbatasan gerak.
Bahkan, mungkin jika satu di antara keduanya atau kedua-duanya, atau keluarga yang bersangkutan mengetahui akan bertemu dalam satu jalan, mereka bisa jadi akan mencari jalan lain supaya tidak bertemu. Ditambah lagi, pemutusan rumah tangga (cerai) itu berangkat dari persoalan dan konflik antarkeluarga.
Walaupun fenomena tersebut adalah hal yang wajar sebagai akibat perceraian, justru dampak inilah yang ditengarai Allah SWT pada kata yang tersirat, yaitu “abghadu” (perbuatan yang paling dibenci).
Kebencian itu boleh jadi karena secara tak langsung keduanya (suami-istri) dianggap telah menyalahi janji-janji yang diproklamirkan ketika akad nikah dan walimatul ursy berlangsung (QS. ar-Ruum: 21). Atau karena menyalahi konsep Allah SWT tentang anjuran agar dengan tali pernikahan itu, terwujud manusia-manusia yang saling mengenal (QS. al-Hujurat: 13). Dan hubungan itu menjadi suatu ikatandalam rumah tangga, selain sebagai wadah dan wahana pengikat tali persaudaraan Islam yang lebih erat lagi (QS. al-Hujurat: 10).
Sebenarnya iitulah tali-temali persaudaraan yang “sayap”nya akan lebih berkembang lagi. “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allaj perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut epada hiab yang buruk,” (QS. ar-Ra’d: 21).
Banyak hikmah mengapa Allah menghukum “perceraian” dengan halal yang dibenci. Karenanya, piker berkali-kali kalau memasuki wilayah yang satu ini.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam sudah barang tentu menerangkan banyak hal dalam kehidupan yang kompleks ini. Di antaranya bentuk hukum yang secara aghlabiah (garis besar) disebutkan dalam al-Qur’an adalah masalah hukum haram dan halal. Al-Qur’an berbicara tentang kedua hal itu dalam berbagai bentuk dan konteks, secara jelas dan gambling.
Halal adalah suatu bentuk (hukum) yang telah mendapat legitimasi dari Allah SWT melalui sumber al-Qur’an, baik tersurat maupun tersirat. Atau yang dijabarkan utusan-nya (Rasulullah saw), baik dalam bentuk material maupun imaterial.
Halal kata Allah, tentu thoyyib (baik) buat kita. Halal kata manusia belum tentu halal menurut Allah AWT. Haram kata Dia, jelas ada mudharat (bahaya) buat kita. Karenanya, halal haram, merupakan ketentuan Ilahi yang mutlak, sebagaimana Rasulullah saw tegaskan, “Halal itu jelas dan haram itu juga jelas,” (HR. Bukhori, Muslim).
Kalau terkadang terdapat rukhsah (toleransi), itu pun menjadi hak prerogative Allah SWT. Artinya, bila ciptaan-Nya, manusia, mendapat syiddatul masyaqqah (kesulitan berat) yang menemui jalan buntu dalam memecahkan masalah, Allah SWT juga yang memberikan toleransi atau keringanan sebagai fleksibilitas ajaran-Nya. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang ia kerjakan,” (QS. al-Baqarah: 286).
Jika ada sesuatu yang diharamkan, itu dipastikan tidak thoyyib bagi manusia. Karena itu, sebenarnya dengan rambu-rambu tersebut, Allah menghendaki mansia agar dapat eksis, sesuai proporsinya, sebagai ahsani taqwi,, ciptaan-Nya yang terbaik.
Jika aturan “haram” dilanggar atau dibuat longgar, maka Allah SWT membenci pelakunya dan memberikan predikat pendosa. Bahkan, Dia akan mengembalikannya pada tempat paling hina. “Kemudian Kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya (neraka),” (QS. at-Tin)
Jika soal haram yang dilanggar, kemudian Allah SWT membencinya dan murka, itu adalah hal yang wajar karena memang jelas salahnya. Tetapi, hal halal yang kita perbuat dan Allah membencinya, tentu jarang kita dengar. Mengapa Allah SWT membenci perbuatan halal yang kita lakukan?
Pemutusan hubungan rumah tangga atau perceraian adalah suatu yang halal bagi Allah. Tapi, hal tersebut dibenci-Nya, seperti diterangkan Rasulullah saw, “Di antara barang-barang yang halal yang dibenci Allah, adalah talak,” (HR> Abu Daud, Ibnu Majah).
Perceraian yang hukum kehalalannya itu ditolelir oleh syariat sedikit menimbulkan pertanyaan bagi kita. Ada apa sebenarnya di balik kehalalan itu? Menyadari begitu besar hikmah yang terkandung, segera kita sadai bahwa kehalalan yang satu ini adalah jalan alternative yang seharusnya tidak disentuh dan dipilih oleh insane-insan rumah tangga jika mereka berselisih.
Selain itu, di balik ini semua, ada syariat kebaikan, betapa Allah sangat menghargai sebuah jalinan ikatan suci yang dengannya akan tercipta ketentraman (sakinah) keluarga. Dengan ketetapan hukum-Nya Allah Azza wa Jalla hendak mengetuk hati kita dan mengingatkan, bahwa begit besar dampa dari sebuah perceraian. Imbasnya tidak hanya tertuju pada keda penjalin cinta-kasih (suami dan istri), tetapi juga kepada anak-anak, keluarga, dan seluruh kerabat keduanya.
Kenyataan yang kerap terjadi, jika hubungan rumah tangga itu putus, dengan sendirinya pola hubungan silaturahmi juga tidak lagi terjalin. Kalaupun tetap terjalin, jarang sekali mereka saling bertemu. Sudah pasti akan terjadi kesenjangan. Keluarga dengan kerabat lainnya, mantan suami dengan mantan istrinya itu, masing-masing akan menampakkan ketertutupan dan keterbatasan gerak.
Bahkan, mungkin jika satu di antara keduanya atau kedua-duanya, atau keluarga yang bersangkutan mengetahui akan bertemu dalam satu jalan, mereka bisa jadi akan mencari jalan lain supaya tidak bertemu. Ditambah lagi, pemutusan rumah tangga (cerai) itu berangkat dari persoalan dan konflik antarkeluarga.
Walaupun fenomena tersebut adalah hal yang wajar sebagai akibat perceraian, justru dampak inilah yang ditengarai Allah SWT pada kata yang tersirat, yaitu “abghadu” (perbuatan yang paling dibenci).
Kebencian itu boleh jadi karena secara tak langsung keduanya (suami-istri) dianggap telah menyalahi janji-janji yang diproklamirkan ketika akad nikah dan walimatul ursy berlangsung (QS. ar-Ruum: 21). Atau karena menyalahi konsep Allah SWT tentang anjuran agar dengan tali pernikahan itu, terwujud manusia-manusia yang saling mengenal (QS. al-Hujurat: 13). Dan hubungan itu menjadi suatu ikatandalam rumah tangga, selain sebagai wadah dan wahana pengikat tali persaudaraan Islam yang lebih erat lagi (QS. al-Hujurat: 10).
Sebenarnya iitulah tali-temali persaudaraan yang “sayap”nya akan lebih berkembang lagi. “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allaj perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut epada hiab yang buruk,” (QS. ar-Ra’d: 21).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar