Hindari selingkuh dengan saling menerima
Umat jadi kuat jika didukung keluarga yang kuat pula. Keluarga kuat adalah keluarga harmonis.
Banyak keluarga yang berantakan di tengah hiruk-pikuk gaya hidup yang serba materialistis. Suami-istri bercerai, keluarga yang jadi korban. Lagi-lagi anak yang kena dampak. Itulah yang kita inginkan? Tentu tidak. Jika meruntut kembali ke belakang, salah satu penyebab perceraian adalah selingkuh.
Prof Dr Dadang Hawari menceritakan pengalaman dalam menangani konsultasi keluraga bahwa banyaknya kasus perceraian sebagian besar dilatari oleh ketidaksetiaan pasangan. “Sebagian besar didominasi oleh ketidaksetiaan para suami. Istri juga ada, tapi lebih sedikit,” ujar psikiater kondang ini.
Sebenarnya solusi untuk mencegah keretakan rumah tangga hanya dapat ditempuh dengan cara menghidupkan kembali nilai-nilai Islam dalam keluarga. In bukan tanpa dasar. Psikiater ini mendapatkan bukti dari banyak penelitian, dalam dan luar negeri. Sebab, inti agama itu adalah kasih sayang.
“Suami mengasihi istri. Istri mengasihi suami. Begitu pun dengan anak-anak. Bila kondisinya sudah tercipta sedemikian rupa, pengaruh atau intervensi dari luar pun sulit masuk”, ujarnya.
Penerapan nilai-nilai agama harus diwujudkan dalam seluruh aspek kehidupan. “Jangan sampai simbolnya saja agama Islam. Tapi, dalam tindak tanduk keseharian sedikit pun tidak ada cerminan nilai-nilai Islam. Akibatnya, terjadilah banyak perselingkuhan.”
Menurut Dadang di Barat perselingkuhan dilakukan 75% oleh suami dan 40% oleh istri. Tentu, ini terjadi karena etika agama di sana tidak menjadi pegangan. Alasannya, “Tidak berpegang pada norma-norma agama, menyebabkan mereka mudah tergoda dengan yang namanya WIL (wanita idaman lain) atau PIL (pria idaman lain)-red.”
Di dalam negeri, meski Dadang mengaku belum memiliki data, namun dari pengalaman kesehariannya dalam menangani konsultasi keluarga, ia memperoleh fakta bahwa 90% perselingkuhan dilakukan oleh suami dan 10% oleh istri.
Mengutip Departemen Agama, ia menyebutkan bahwa hampir 50ribu pasangan suami istri telah mengajukan perceraian. Dari jumlah tersebut, 20ribu di antaranya telah berhasil diselamatkan oleh BP4. Sisanya, berakhir perceraian. “Sangat mengenaskan.”
Maraknya kasus perceraian juga disesalkan oleh Prof Dr Zakiah Derajat. Perkawinan yang sudah terjadi, menurutnya, tidak bisa diulang. Karena itu, seharusnya dalam suatu keluarga bila terjadi ketidakharmonisan, maka lebih didahulukan mencari solusinya. “Jangan terburu-buru memutuskan cerai,” tandas dosen Universitas Islam Negeri Jakarta ini.
Perkawinan, menurut Zakiah, selain sakral, juga merupakan suatu perjanjian yang kokoh. Ikatannya sangat kuat. Tak hanya mengikat hubungan keluarga kecil (suami, istri, anak), tapi juga mengikat hubungan dua keluarga besar, suami dan istri. Untuk itu, suami-istri harus saling bersikap arif dan bijaksana. “Harus ada upaya satu sama lain. Suami-istri harus menerima kekurangan masing-masing. Baiknya diterima, buruknya juga diterima.”
Berangkat dari saling menerima itulah mahligai kebahagiaan rumah tangga dapat diwujudkan bersama. “Jangan saling mencari-cari celah kekurangan. Kalau ada kesalahan, anggap saja sebagai kesalahan bersama yang juga harus diselesaikan bersama,” pesan Zakiah.
Penyebab perceraian, sambung Zakiah, adalah kurangnya pengertian satu sama lain dan tak ditemukannya harapan-harapan suami-istri. “Boleh jadi, kedua pasangan saat menikah mempunyai harapan yang begitu banyak. Dan ternyata semua itu tak pernah mereka temukan setelah menikah.”
Lain halnya dengan ustadzah Lutfiah Sungkar. Da’iyah yang sering mucul di layar kaca ini melihat sisi perbedaan yang sejak semula (sebelum menikah) sudah ada pada masing-masing pasangan. Menurutnya, suami istri adalah dua pihak yang berangkat dari ragam perbedaan. Kemudian, dari mereka lahir anak-anak yang juga berbeda. Semua keragaman itu berkumpul dalam satu wadah. Di sinilah letak ujiannya.
Lutfiah Sungkar juga menegaskan bahwa anggota keluarga harus mengetahui peran masing-masing. Suami dalam al-Qur’an adalah pemimpin rumah tangga dan penanggung jawab urusan nafkah. Tugas istri adalah kerumahtanggaan. “Masalah yang banyak hadir sekarang ini adalah karena keduanya memainkan peran sama, yaitu mencari nafkah. Jelas ini mengurangi intensitas komunikasi dan perhatian terhadap anggota keluarga, khususnya suami-istri. Ketika datang saat genting, godaan pun muncul. Terjadilah affair,” tukasnya.
Bahkan, dadang Hawari menegaskan, perceraian itu terjadi juga akibat dari keridaksiapan pasangan untuk menikah. “Ini bisa kita lihat ketika maraknya pasangan selebritis yang mudah kawin-cerai dengan alas an, mereka belum siap.”
Dadang pun sangat menyesalkan bahwa banyak kasus keluarga, tetapi jalan penyelesaiannya sebentar-sebentar selalu dibawa kepengadilan. Padahal menurutnya, kasus-kasus keluarga (suami-istri) jauh akan lebih baik jika dikonsultasikan ke BP4, dokter, atau psikiater. “Sangat disayangkan, pengadilan agama terkesan terlalu mudah meluluskan perceraian,” ujarnya seraya menambahkan, mudah-mudahan kesan ini salah. Mestinya, jika setiap pasangan mau sedikit bersabar, bagaimana pun besarnya kemelut, keutuhan rumah tangga akan bisa dipertahankan.
“Arus globalisasi dan moderenisasi yang tanpa disertai nilai agama juga menjadi salah satu factor pemicu terjadinya perceraian, ini pun harus diwaspadai,” Dadang mengingatkan.
Umat jadi kuat jika didukung keluarga yang kuat pula. Keluarga kuat adalah keluarga harmonis.
Banyak keluarga yang berantakan di tengah hiruk-pikuk gaya hidup yang serba materialistis. Suami-istri bercerai, keluarga yang jadi korban. Lagi-lagi anak yang kena dampak. Itulah yang kita inginkan? Tentu tidak. Jika meruntut kembali ke belakang, salah satu penyebab perceraian adalah selingkuh.
Prof Dr Dadang Hawari menceritakan pengalaman dalam menangani konsultasi keluraga bahwa banyaknya kasus perceraian sebagian besar dilatari oleh ketidaksetiaan pasangan. “Sebagian besar didominasi oleh ketidaksetiaan para suami. Istri juga ada, tapi lebih sedikit,” ujar psikiater kondang ini.
Sebenarnya solusi untuk mencegah keretakan rumah tangga hanya dapat ditempuh dengan cara menghidupkan kembali nilai-nilai Islam dalam keluarga. In bukan tanpa dasar. Psikiater ini mendapatkan bukti dari banyak penelitian, dalam dan luar negeri. Sebab, inti agama itu adalah kasih sayang.
“Suami mengasihi istri. Istri mengasihi suami. Begitu pun dengan anak-anak. Bila kondisinya sudah tercipta sedemikian rupa, pengaruh atau intervensi dari luar pun sulit masuk”, ujarnya.
Penerapan nilai-nilai agama harus diwujudkan dalam seluruh aspek kehidupan. “Jangan sampai simbolnya saja agama Islam. Tapi, dalam tindak tanduk keseharian sedikit pun tidak ada cerminan nilai-nilai Islam. Akibatnya, terjadilah banyak perselingkuhan.”
Menurut Dadang di Barat perselingkuhan dilakukan 75% oleh suami dan 40% oleh istri. Tentu, ini terjadi karena etika agama di sana tidak menjadi pegangan. Alasannya, “Tidak berpegang pada norma-norma agama, menyebabkan mereka mudah tergoda dengan yang namanya WIL (wanita idaman lain) atau PIL (pria idaman lain)-red.”
Di dalam negeri, meski Dadang mengaku belum memiliki data, namun dari pengalaman kesehariannya dalam menangani konsultasi keluarga, ia memperoleh fakta bahwa 90% perselingkuhan dilakukan oleh suami dan 10% oleh istri.
Mengutip Departemen Agama, ia menyebutkan bahwa hampir 50ribu pasangan suami istri telah mengajukan perceraian. Dari jumlah tersebut, 20ribu di antaranya telah berhasil diselamatkan oleh BP4. Sisanya, berakhir perceraian. “Sangat mengenaskan.”
Maraknya kasus perceraian juga disesalkan oleh Prof Dr Zakiah Derajat. Perkawinan yang sudah terjadi, menurutnya, tidak bisa diulang. Karena itu, seharusnya dalam suatu keluarga bila terjadi ketidakharmonisan, maka lebih didahulukan mencari solusinya. “Jangan terburu-buru memutuskan cerai,” tandas dosen Universitas Islam Negeri Jakarta ini.
Perkawinan, menurut Zakiah, selain sakral, juga merupakan suatu perjanjian yang kokoh. Ikatannya sangat kuat. Tak hanya mengikat hubungan keluarga kecil (suami, istri, anak), tapi juga mengikat hubungan dua keluarga besar, suami dan istri. Untuk itu, suami-istri harus saling bersikap arif dan bijaksana. “Harus ada upaya satu sama lain. Suami-istri harus menerima kekurangan masing-masing. Baiknya diterima, buruknya juga diterima.”
Berangkat dari saling menerima itulah mahligai kebahagiaan rumah tangga dapat diwujudkan bersama. “Jangan saling mencari-cari celah kekurangan. Kalau ada kesalahan, anggap saja sebagai kesalahan bersama yang juga harus diselesaikan bersama,” pesan Zakiah.
Penyebab perceraian, sambung Zakiah, adalah kurangnya pengertian satu sama lain dan tak ditemukannya harapan-harapan suami-istri. “Boleh jadi, kedua pasangan saat menikah mempunyai harapan yang begitu banyak. Dan ternyata semua itu tak pernah mereka temukan setelah menikah.”
Lain halnya dengan ustadzah Lutfiah Sungkar. Da’iyah yang sering mucul di layar kaca ini melihat sisi perbedaan yang sejak semula (sebelum menikah) sudah ada pada masing-masing pasangan. Menurutnya, suami istri adalah dua pihak yang berangkat dari ragam perbedaan. Kemudian, dari mereka lahir anak-anak yang juga berbeda. Semua keragaman itu berkumpul dalam satu wadah. Di sinilah letak ujiannya.
Lutfiah Sungkar juga menegaskan bahwa anggota keluarga harus mengetahui peran masing-masing. Suami dalam al-Qur’an adalah pemimpin rumah tangga dan penanggung jawab urusan nafkah. Tugas istri adalah kerumahtanggaan. “Masalah yang banyak hadir sekarang ini adalah karena keduanya memainkan peran sama, yaitu mencari nafkah. Jelas ini mengurangi intensitas komunikasi dan perhatian terhadap anggota keluarga, khususnya suami-istri. Ketika datang saat genting, godaan pun muncul. Terjadilah affair,” tukasnya.
Bahkan, dadang Hawari menegaskan, perceraian itu terjadi juga akibat dari keridaksiapan pasangan untuk menikah. “Ini bisa kita lihat ketika maraknya pasangan selebritis yang mudah kawin-cerai dengan alas an, mereka belum siap.”
Dadang pun sangat menyesalkan bahwa banyak kasus keluarga, tetapi jalan penyelesaiannya sebentar-sebentar selalu dibawa kepengadilan. Padahal menurutnya, kasus-kasus keluarga (suami-istri) jauh akan lebih baik jika dikonsultasikan ke BP4, dokter, atau psikiater. “Sangat disayangkan, pengadilan agama terkesan terlalu mudah meluluskan perceraian,” ujarnya seraya menambahkan, mudah-mudahan kesan ini salah. Mestinya, jika setiap pasangan mau sedikit bersabar, bagaimana pun besarnya kemelut, keutuhan rumah tangga akan bisa dipertahankan.
“Arus globalisasi dan moderenisasi yang tanpa disertai nilai agama juga menjadi salah satu factor pemicu terjadinya perceraian, ini pun harus diwaspadai,” Dadang mengingatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar